LEGENDA
Batu Golog
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai
Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri
bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari
mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya
menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya
ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka
duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang
sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya
Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu
baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper
itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu
kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan
menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu
sudah tidak terdengar lagi.
Batu
Goloq itu makin lama makin tinggi.Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka
menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua
anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa
agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan
gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan
menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama
jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena
menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi
nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu
ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara
gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka
telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung
Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal
dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
Cindelaras
Raden
Putra adalah raja Kerajaan Jenggala.Ia didampingi seorang permaisuri yang baik
hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra
memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu
yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri.Aku
harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir
baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana.Ia berpura-pura sakit parah.
Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang
telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah
permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar
penjelasan tabib istana.Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang
permaisuri ke hutan.
Sang
patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan
belantara.Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih
sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir,
hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata
patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah
kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor
kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah
beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu
diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas
dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu
hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir
telur.“Hmm, rajawali itu baik sekali.Ia sengaja memberikan telur itu
kepadaku.”Setelah 3 minggu, telur itu menetas.Cindelaras memelihara anak
ayamnya dengan rajin.Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus
dan kuat.Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh
menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya
daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”
Cindelaras
sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya.Lalu,
ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di
hutan.Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan
membeberkan kejahatan selir baginda.Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras
pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya.Ketika dalam perjalanan ada
beberapa orang yang sedang menyabung ayam.Cindelaras kemudian dipanggil oleh
para penyabung ayam.“Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,”
tantangnya.“Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan
Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak
terkalahkan.Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita
tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat.Raden Putra pun
mendengar berita itu.Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk
mengundang Cindelaras.“Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan
santun.“Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat
jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan
satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung,
tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik
Cindelaras.
Dua
ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam
Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai
mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.“Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan
menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda
Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada
ayamnya.Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku
Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,”
ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar
kokok ayam Cindelaras.“Benarkah itu?”Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda,
nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan
dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata
Baginda Raden Putra.“Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,”
lanjut Baginda dengan murka.Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan.
Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah
itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya
Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden
Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya.Ia memerintah
negerinya dengan adil dan bijaksana.
Pada
jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh
seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.
Prabu
Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya
Purbasari.
Pada
saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri
bungsunya sebagai pengganti.“Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,”
kata Prabu Tapa.
Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia
tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung,
seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada
tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya
mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk
memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu
juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi
punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia
tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.
Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan
Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan
membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari,
“Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti
akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.
Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu
hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera
berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada
Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan
bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.
Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap
aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu
kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak
lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga
kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan
memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir
Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya.
Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi
cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin
ditelaga tersebut.
Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya
di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di
hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang
tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau
kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling
panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari
tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut
Purbasari lebih panjang.
“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan
tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya.
Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik
tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan
Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.
Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi.
Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang
Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut
melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui
kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan
memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah
kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.
Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang
pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan
dalam wujud seekor lutung.
Legenda Aryo Menak
Dikisahkan pada jaman Aryo Menak
hidup, pulau Madura masih sangat subur.Hutannya sangat lebat.Ladang-ladang padi
menguning.
Aryo Menak adalah seorang pemuda
yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan.Pada suatu bulan purnama, ketika
dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya cahaya sangat
terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber
cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari
sedang mandi dan bersenda gurau disana.
Ia
sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul
keinginannya untuk memiliki seorang diantara mereka.Iapun mengendap-endap,
kemudian dengan secepatnya diambil sebuah selendang dari bidadari-bidadari itu.
Tak lama kemudian, para bidadari
itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya masing-masing.Merekapun
terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda.Bidadari itu tidak dapat
terbang tanpa selendangnya.Iapun sedih dan menangis.
Aryo Menak kemudian
mendekatinya.Ia berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ditanyakannya apa
yang terjadi pada bidadari itu. Lalu ia mengatakan: “Ini mungkin sudah kehendak
para dewa agar bidadari berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah
bersedih.Saya akan berjanji menemani dan menghiburmu.”
Bidadari itu rupanya percaya
dengan omongan Arya Menak.Iapun tidak menolak ketika Arya Menak menawarkan
padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak.Selanjutnya Arya Menak
melamarnya.Bidadari itupun menerimanya.
Dikisahkan, bahwa bidadari itu
masih memiliki kekuatan gaib.Ia dapat memasak sepanci nasi hanya dari sebutir
beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.
Pada suatu hari, Arya Menak
menjadi penasaran.Beras di lumbungnya tidak pernah berkurang meskipun bidadari
memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia mengendap ke
dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat kekuatan
gaib isterinya sirna.
Bidadari
sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak
beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang.
Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya
bidadari itu ketika dilihatnya tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang
ke sorga. Pada suatu malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya.
Tubuhnya menjadi ringan, iapun dapat terbang ke istananya.
Arya Menak menjadi sangat
sedih.Karena keingintahuannya, bidadari meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan
anak keturunannya berpantang untuk memakan nasi
( Disadur dari Ny.
S.D.B. Aman,”Aryo Menak and His Wife,” Folk Tales From Indonesia,
Jakarta: Djambatan, 1976)
Situ
Bagendit
Pada
zaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya
kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak
pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang
berlimpah ruah.Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin
kekurangan.
Hari
masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk
sudah bergegas menuju sawah mereka.Hari ini adalah hari panen. Mereka akan
menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak
bernama Nyai Endit.
Nyai
Endit adalah orang terkaya di desa itu.Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat
luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di
desa itu. Ya! Seluruh petani.Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual
hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya
dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng
suruhan nyai Endit.Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli
dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah
kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya.“Tidak tahan
saya hidup seperti ini.Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst,
jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya.“Kita mah
harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang
suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara
iru Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!”
kata nyai Endit.“Bagaimana?Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.
“Beres
Nyi!” jawab centeng bernama Barja.“Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!Lumbungnya
sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah
tak muat lagi.”
“Ha
ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku.
Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai
mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja
yang membangkang!” kata Nyai Endit.
Benar
saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan
bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan.Sementara Nyai Endit selalu
berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh
pak, persediaan beras kita sudah menipis.Sebentar lagi kita terpaksa harus
membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali
lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga
perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban
yang kami pikul.”
Begitulah
gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu
siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan
terbungkuk-bungkuk.Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm,
kasihan para penduduk ini.Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang
saja.Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia
berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi!
Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya
nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah
saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh,
maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih.“Sudah dekat nek.Nenek tinggal
lurus saja sampai ketemu pertigaan.Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan
lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama
Nyi Endit?”
“Saya
mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah
percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek
bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak
perlu,” jawab si nenek.“Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang
minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap
mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek
bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget.“Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
“Aku
tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran
pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga
milik kalian,” kata si nenek.
Setelah
itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara
itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para
centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang
oleh para centeng.
“Hei
pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor
terinjak kakimu!” bentak centeng.
“Saya
mau minta sedekah.Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan.Sudah tiga hari
saya tidak makan,” kata si nenek.
“Apa
peduliku,” bentak centeng.“Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan
minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi
si nenek tidak bergeming di tempatnya.“Nyai Endit keluarlah!Aku mau minta
sedekah.Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng-centeng
itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak
berhasil.
“Siapa
sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit.“Ganggu orang makan saja!”
“Hei…!
Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak
Nyai Endit.
“Saya
Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata
nenek.
“Lah..ga
makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat
nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si
nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang
Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
“Hei
Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur.
Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan
makanan” teriak si nenek berapi-api.“Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa
para penduduk yang sengsara karena ulahmu!Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha
ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat
centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak
perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek.“Aku akan pergi dari sini jika kau
bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar
nenek gila.Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai
Endit sombong.
Lalu
hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan.Ternyata
tongkat itu tidak bergeming.Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak
bergeming juga.
“Sialan!”
kata Nyai Endit.“Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak
tercabut.Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng
itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga
orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha
ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek.“Ternyata tenaga kalian tidak
seberapa.Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut!
Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!!
Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
“Endit!
Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara
karenamu.Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah
berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana.Tinggal Nyai Endit
yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari
menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta
hartanya.
Di
desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah.Orang menamakannya ‘Situ
Bagendit’.Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit.Beberapa
orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di
dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur
dari jebakan air bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar